"Surat-surat dari Masa Depan" Karya Terbaik 2 dalam Musabaqoh Karya Tulis dan gambar yang diadakan UKM Al Izzah
Surat-surat dari Masa Depan
Cerpen oleh Ikrima Elok Zahrotul Jannah
Lela tersenyum cerah, ia sudah lama menantikan hari-hari di bulan ini, bulan yang sangat istimewa. Bulan Ramadan. Kyai langgar sering menceritakan betapa istimewa dan sakralnya bulan ini. Diagungkan oleh kewajiban satu bulan penuh berpuasa, ganjaran dilipat gandakan setelah diganda-gandakan sebelumnya, template Nuzulul Qur’an yang mulia, masih bonus special-day Lailatul Qadar yang tiada banding utamanya.
Dan lagi, keajaiban yang seoalah hanya diperuntukkan untuknya.
Ia baru saja menyelesaikan urusan bersih-bersih rumah tadi, dan berencana menjemur bayi cantiknya yang baru berumur hampir tiga bulan di bawah hangatnya sinar mentari pagi, seraya membaca surat istimewa dari Putunya. Ya, surat dari Putunya.
Pertama kali ia mendapat surat dari putunya, butuh waktu tiga hari untuk memahami isi suratnya karena ejaan dan bahasa yang sudah banyak berubah–atau lebih tepatnya diperbarui. Tapi karena itu, ia bersyukur pernah memaksa Bapaknya untuk menyekolahkannya yang notabenenya perempuan ini, di zaman dimana perempuan dipandang rendah. Tidak berhenti di sana, ia butuh waktu hampir dua minggu untuk benar-benar mencerna keajaiban ini. Kendati di tengah-tengah kebingungan itu, ia bersyukur karena mengetahui kelak ia memiliki Putu.
Lela menghampiri kotak surat di halaman depan. Jantungnya berdegup kencang, senyumnya tertarik lebar. Tapi ketika kotak surat itu terbuka, senyumnya tertahan.
Ah, tidak apa, mungkin sesuatu terjadi di masa depan sana, dan tentunya semoga hal baik. Pikirnya tanpa menghiraukan kecewa. Esok lusa, surat itu akan datang.
Tapi tidak, esok, lusa, esoknya lagi, kemudian lusa lagi. Kotak surat itu tak pernah berisi surat-surat dari Putunya.
Itu membuatnya sedih, mengingat selama satu tahun terakhir ia menulis surat untuk dikirimkannya di bulan Ramadan. Surat yang menceritakan bagaimana ia mengandung Putrinya, yang kelak menjadi ibu Putunya. Melewati satu-persatu adat jawa, kemudian lahir bayi cantik dengan alis yang indah dan mata yang berbinar menggoda.
***
Hari-hari berikutnya ia tetap menunggu, tanpa menghiraukan rasa takut akan kecewa. Karena hanya di bulan Ramadan tukar menukar surat atau yang Putunya sebut teleportasi surat itu bisa dilakukan, ia tidak mungkin mau kehilangan kesempatan ini hanya untuk rasa kecewa yang tidak penting, yang tak pernah menguntungkan apapun dan siapapun. Ditambah lagi, rasa kecewa itu bermutasi menjadi rasa takut, takut sesuatu yang buruk terjadi di masa depan sana.
Putunya sama antusiasnya dengan dirinya setiap kali memasuki bulan Ramadan, bercerita tentang bagaimana ia akan khataman Al-Qur’an tiga kali di Ramadan tahun lalu, berhasil membelikan koko dan gamis baru untuk Ayah dan Ibu, berbuka bersama dengan anak yatim dan piatu. Lalu kenapa Ramadan tahun ini sepi? Seakan di masa depan sana, kesedihan tengah menggelayuti.
Lela melangkah ke luar rumah tanpa melepas mukenanya usai sholat tarawih di rumah mengingat ia harus menjaga putrinya yang masih merah. Seperti malam-malam sebelumnya, ia akan mengecek kotak surat. Akan tetapi malam ini seakan terasa berbeda, alih-alih melangkah tergesa, ia melakukannya dalam ketenangan, menikmati tiap langkahnya di tengah kegelapan. Ia selalu suka malam-malam di bulan Ramadan, malam yang damai dengan gemintang yang penuhi langit gelap, angin yang berembus tenang hantarkan lantunan darus Al-Qur’an di surau-surau yang damai.
Bunyi ‘klang’ terdengar ketika kotak surat itu terbuka. Sontak Lela berjingkat kegirangan, “Suratnya! Suratnya datang!”
Ia bergegas berlari masuk, mengunci pintu kamarnya memastikan agar suaminya yang baru pulang dari surau tidak mendadak masuk. Putunya bilang, “tidak ada yang boleh tahu surat ini selain simbah!”
Lela mendekatkan suratnya ke lampu teplok, jantungnya berdebar-debar,
“Assalamu’alaikum Simbah, semoga Simbah selalu diberi kesehatan”
Kalimat pertama menyapanya, biasanya ia akan merasa sedih karena tahu bahasa jawa terutama krama lugu hampir tak bersisa. Tapi kali ini rasa itu tak ia hiraukan, ia sudah terlalu lama menantikannya.
“Maaf baru membalas surat Simbah, padahal Elijah juga sudah menantikannya.” Nama Putunya Eliza, tapi ia selalu menggunakan nama Elijah di suratnya. Panggilan yang dibuat Simbahnya.
“Simbah, bukankah kemarin tepat tiga bulan setelah ibu dilahirkan? Putri yang kelak sangat Simbah cintai, sosok perempuan yang kelak sangat mencintai putra-putrinya. Simbah, satu Ramadan kemarin, ibu meninggal.”
Reflek Lela melepas lembar surat yang di zamannya masih sangat mahal itu, meraih bayi cantiknya yang tidur di ranjang, memeluknya erat. Surat itu berhenti di sana. Putunya tahu, ia akan tersedu.
***
Ia tersedu semalaman, sampai lelah mata terpejam. Tak sempat ia mengeja memberi surat balasan. Tapi Putunya yang masih belia itu lengkap bijaksana, memberi surat baru, mengalihkan kesedihannya padahal itu tugasnya.
“Tidak apa Simbah, ibu berumur panjang. Umurku sudah hampir berkepala dua sekarang, dan aku si bungsu nya, hehe.
Apa kabar Simbah?, apakah puasa Simbah sama menyenangkan seperti tahun-tahun sebelumnya? Bagaimana dengan langit-langit Ramadan? Apakah masih dipenuhi dengan bintang? Bagaimana dengan milky way nya?
Di sini bintang semakin redup di mata, Simbah, terhalang kerlap-kerlip lampu kota. Sebagai gantinya, anak-anak menyalakan petasan. Lucu ya, di zaman Simbah, peledak apapun jangan sampai meledak. Di zamanku, justru dibuat mainan.
Aduh, Elijah inginnya bercerita tentang hal menyenangkan dengan simbah, tapi acap kali bertukar surat dengan simbah, aku otomatis membandingkan zaman dulu dengan sekarang.
Di sini sedang ada topik panas Simbah, “Mokeel.. Mokeel..” begitu. Sebutan untuk yang tidak puasa, atau sengaja membatalkan puasa. Miris rasanya, orang-orang dengan percaya dirinya memamerkan kalau dia tidak puasa. Bukankah di zaman Simbah, orang-orang tetap malu bahkan ketika dia berhak membatalkan puasa?”
Lela menjeda bacaannya, itu hal yang sangat meprihatinkan. Dunia berjalan dengan alur yang semakin aneh baginya. Lela rasa, ia akan bangkit dari kubur kalau ia ada di masa depan sekarang.
Begitupun ia tetap bersyukur karena putunya bukan pelaku di antaranya dan jangan sampai. Karena itu, tugasnya lah untuk memberi pendidikan terbaik bagi anak turunnya.
“Oh, Simbah, lupakan sejenak soal itu. Aku akan mendiskusikannya dengan Mas dan Mbak nanti. Ada hal spesial yang ingin ku beritahu kepada Simbah. Simbah ingat? kali pertama Elijah tidak sengaja menemukan gelombang sinyal aneh di jam pemberian Mas, yang ternyata bersumber dari kotak surat lama di halaman depan rumah? yang pada akhirnya menjadi jalur teleportasi surat-surat Simbah denganku? Mengingat itu, aku pikir kuncinya ada di ‘gelombang sinyal’ Simbah. Karena itu, berbulan-bulan sebelum Ramadan, aku berusaha mengembangkan jam pemberian Mas ini, meng-upgrade atau memperbaruinya, harap-harap bisa mengenali gelombang sinyal Lailatul Qadar. Yah, semoga saja berhasil. Aku tidak sabar sekali, Simbah! Do’akan semoga berhasil ya! Aku akan memberi Simbah kejutan!”
***
Komentar
Posting Komentar