Karung Putih
Cerpen oleh Diah Rosantina
Malam itu, suasana di masjid kecil di pinggiran desa terasa hangat. Setelah melaksanakan salat tarawih dan tadarus, Irvan dan teman-temannya berkumpul di halaman masjid.
“Gimana, guys? Kita jadi tongtekan malam ini?” tanya Irvan, sambil mengusap peluh di dahinya. Ia terlihat bersemangat, matanya berbinar-binar.
Jadi dong! Aku sudah siap dengan semua peralatannya,” jawab Maxwel, sambil mengeluarkan beberapa botol air mineral dan snack dari tasnya. “Yang nyakitin kita aja butuh energi, masa kita nggak!”
“Bisa aja lu tong, jangan lupa bawa senter juga, ya! Malam ini kita harus eksplorasi yang seru,” sahut Yusril, yang selalu penuh ide. Ia mengeluarkan senter kecil dari saku celananya dan mengarahkan cahaya ke wajah teman-temannya, membuat mereka tertawa.
Mereka semua sepakat untuk melakukan tongtekan keliling desa dan lewat hutan kecil di belakang masjid. Hutan itu dikenal sebagai tempat yang misterius, dengan banyak cerita seram yang beredar di kalangan anak-anak desa. Namun, bagi mereka, malam ini adalah kesempatan untuk menciptakan kenangan baru.
Setelah memastikan semua perlengkapan siap, mereka pulang terlebih dahulu dan akan bertemu kembali pada pukul 01.00 pagi. Suasa desa begitu sepi hanya ada suara jangkrik yang mengelilingi perkampungan. “Warga Wargaa…., Ayo Sahur….!” teriaknya dengan suara keras, diikuti oleh teman-temannya. Suara mereka menggema di malam yang tenang, menciptakan suasana ceria.
“SAHUR! SAHUR!” seru Yusril, melompat-lompat penuh semangat. “SAHUR TIDAK SAHUR, TERSERAHMU, YANG PENTING KITA SUDAH BANGUNIN!” teriak Maxwel, membuat semua orang tertawa.
Mereka terus berlari dari satu gang ke gang lainnya, meneriakkan ajakan sahur dengan penuh keceriaan. Beberapa warga yang mendengar suara mereka keluar dari rumah, tersenyum dan melambaikan tangan. “Terima kasih, anak-anak!” teriak seorang ibu, sambil mengangkat gelas air.
Suara angin yang berdesir dan suara jangkrik menemani mereka. “Wahh…, seru banget ya malam ini!” seru Maxwel, masih bersemangat. “Kita harus sering-sering tongtekan kayak gini!”
“Benar banget, besok lagi ya guys! Tapi, ada yang mau aku ceritakan,” kata Irvan, wajahnya tiba-tiba tampak serius. “Sebenarnya, aku tidak puasa seminggu ini.”
“Lhoo…kenapa, Van?” tanya Dika, penasaran. “Aku sebenernya cuma fomo sama teman- teman yang tidak puasa. Mereka bilang, ‘Santai saja, kan masih bisa puasa di lain waktu,’” jawab Irvan, menunduk.
Maxwel, yang dikenal sebagai sosok yang bijak di antara mereka, menghela napas. “Irvan, itu nggak baik tauu... Puasa itu bukan hanya tentang menahan lapar, tapi juga menahan hawa nafsu kita dan menghargai bulan Ramadan. Irvan harusnya tau itu,” katanya dengan lembut.
Yusril, yang biasanya ceria, juga menambahkan, “Waduh Van kenapa nggak ngajak aku? Kan aku juga mau ha ha ha. Maxwel, ikut memarahi Yusril. “Jangan mulai - mulai deh Yus, aku bilangin Abimu baru tau rasa”.
Irvan merasa tertegun mendengar nasihat dari teman-temannya. “Aku tau, tapi aku terpengaruh. Aku seharusnya lebih kuat,” ujarnya, suaranya pelan. “Aku minta maaf, guys. Aku akan berusaha lebih baik ke depannya.”
Maxwel menepuk bahu Irvan. “Gapapa, yang penting Irvan sadar sekarang. Kita semua pernah melakukan kesalahan. Yang terpenting adalah bagaimana kita memperbaikinya,” katanya dengan penuh pengertian.
Setelah berbincang – bincang, tiba – tiba Yusril bertanya, “Ehh.., kalian pernah dengar cerita tentang hantu yang sering muncul di hutan ini?” dengan nada menggoda. “Katanya, hantu itu suka menakut-nakuti anak-anak yang nakal, kayak Irvan gitu!”
“Ah, itu cuma mitos!” jawab Maxwel, sambil tertawa. “Tapi kalau ada hantu beneran, kayaknya Irvan yang pertama kabur, diakan orangnya sangat penakut!”
Irvan yang mendengar cerita itu mulai merasa sedikit takut. Ia mempercepat langkahnya, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa cemasnya. Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat sesuatu yang bergerak. Semua teman-temannya menoleh, dan suasana menjadi tegang. “Apa itu?” bisik Yusril, matanya membesar. “Jangan-jangan itu hantu!”
Irvan, yang sudah terlanjur merasa takut, melangkah maju dengan hati-hati. “Aku akan cek!” katanya, berusaha terdengar berani. Dengan senter di tangan, ia mendekati sosok yang tampak misterius itu.
Ketika Irvan semakin dekat, ia bisa melihat bahwa sosok itu tertutup oleh kain putih yang melambai-lambai. “Gila, apa itu? AAA….HANTU! HANTUU...!” teriaknya, dan tanpa pikir panjang, ia berbalik dan berlari sekuat tenaga. Tanpa ia sadari sarung yang ia pakai justru terlepas dan hampir terjatuh di sana.
“Van, tunggu sarungmu mau lepas nanti burungmu kelihatan!” teriak Yusril, berusaha mengejar. Namun, Irvan sudah terlanjur panik. Ia berlari tanpa melihat ke belakang, hingga akhirnya terjatuh di atas rumput.
Teman-temannya akhirnya berhasil menyusul dan melihat Irvan terjatuh. “Lihat hantu apa Van?” tanya Maxwel, sambil tertawa. “Irvan kayak orang kesurupan, sarung mau jatuh aja nggak tau!” Sambil menahan tawa
Irvan masih terengah-engah, “ADA HANTUU… ADA HANTUU..! Dia… dia mau nangkap aku!” jawabnya, sambil menunjuk ke arah sosok misterius yang kini terlihat lebih jelas.
Dengan rasa penasaran, Dika dan yusril mendekati sosok itu. “Eh, tunggu dulu!” kata Yusril, sambil mengangkat senter. Ketika cahaya senter menyinari sosok itu, mereka semua terdiam sejenak.
Ternyata, sosok yang mereka kira hantu itu hanyalah karung putih yang digunakan warga untuk menutup buah-buahan di kebun. Karung itu tertiup angin, membuatnya terlihat seperti sosok yang melayang.
“Ha ha ha! Irvan, takut sama karung!” Maxwel tertawa terbahak-bahak. “Kamu benar-benar panik!”
Irvan, yang masih merasa malu, ikut tertawa. “Ya ampun, aku kira itu hantu beneran! Ternyata cuma karung!” katanya, sambil menggaruk kepala.
Mereka semua tertawa bersama, suasana tegang yang sempat ada kini berubah menjadi keceriaan. “Jadi, hantu karung ini bisa buat teman kita takut, ya?” canda Dika, membuat semua orang tertawa lagi.
“Irvan... Irvan, mungkin itu peringatakan dari Allah karena kemarin tidak berpuasa” Ucap Maxwel dengan sedikit tertawa.
“Gapapa bro.., kita semua pernah berada di posisi itu,” Yusril menjawab, menepuk bahu Irvan.
Malam itu, mereka melanjutkan petualangan dengan semangat baru, sambil sesekali bercanda tentang hantu karung yang membuat Irvan panik. Di bawah sinar bulan purnama, mereka merasakan kebersamaan yang hangat dan penuh tawa.
Komentar
Posting Komentar