“Kita Berbuka dengan Lauk Sisa Sahur Semalam” Juara 1 Musabaqoh Mading Part 1 UKM Al-Izzah 2025 (Kategori: Cerpen)
Kita Berbuka dengan Lauk Sisa Sahur Semalam
Cerpen oleh Syahiroh Nabilah
Senja menyambut di balik jembatan layang ibu kota. Cahaya jingga terpantul di genangan air yang kotor. Menciptakan kilau yang mungkin tiada arti bagi orang-orang diatas sana. Namun, bagi mereka yang memandang hidup dengan penuh syukur, itu adalah keindahan kecil dari tuhan yang harus diterima dengan lapang dada.
Di bawah jembatan besar, diantara kardus-kardus dan kain kumal yang dijadikan alas tidur, Lastri duduk bersila. Jemari kasarnya merapikan bungkusan plastic di depannya, sesekali melirik bocah kecilnya yang duduk di sampingnya, menunggu adzan maghrib dengan penuh harap.
“Bu, ada apa untuk buka?”
Sudah hari ke dua puluh Ramadhan, pertanyaan iu selalu sama setiap harinya. Seperti hari-hari sebelumnyaa, Lastri hanya tersenyum tipis, lantas mengeluarkan tiga bungkus nasi bersama beberapa potong tempe sisa sahur semalam.
“Kita berbuka dengan berkah, Nak.”
Akbar menatap makanan di depannya. Ia tidak bodoh. Ia tahu, tidak semua orang berbuka dengan lauk sisa sahur semalam. Di televisi yang sering ia lihat dari warung makan di ujung gang, orang-orang sedap menikmati makanan berlimpah. Ayam goreng, sop daging, ikan bakar, es timun suri dalam gelas besar.
Dari kejahuan, suara adzan maghrib menggema, mengalun syahdu di atas hiruk pikuk kota. Restoran-restoran mahal dipenuhi orang-orang kaya berpakaian rapi, duduk di balik kaca besar, menikmati hidangan berbuka yang lezat berlimpah. Layar televisi besar terpampang di sudut jalanan ibu kota, seorang pejabat berbicara dengan penuh rasa percaya diri.
“Perekonomian negara mengalami pertumbuhan pesat. Kemiskinan berkurang, program bantuan sosial dan sarapan gratis untuk anak sekolah berjalan dengan lancar.”
Sementara itu, di bawah jembatan ini, seorang anak kecil yang tidak mampu sekolah membuka bungkus nasi sisa sahur semalam. Dahulu, sebelum tinggal di bawah jembatan, mereka menyewa rumah kecil di pinggiran ibu kota. Rumah yang sederhana, tapi cukup untuk berteduh dari hujan, cukup untuk sekadar merasakan masakan yang masih hangat setiap malam. Ayah Akbar, Bejo dulu bekerja di konveksi sebagai penjahit. Gajinya memang tak seberapa, tapi cukup untuk makan dan membayar spp sekolah Akbar.
Suatu hari, konveksi tempat Bejo bekerja bangkrut. Berbulan-bulan Bejo mencari pekerjaan, tapi di negeri yang katanya sedang tumbuh baik ini, orang-orang seperti Bejo selalu saja menjadi nomor kesekian dalam daftar kemaslahatan. Sewa rumah terus naik, pekerjaan tetap tak kunjung datang, dan uang simpanan pun menipis. Pada akhirnya, mereka pergi dari rumah kontrakan yang sederhana itu.
Angin malam berhembus menusuk tulang. Akbar menggigil kecil, jakenya sudah terlalu tipis untuk menahan dingin. Selang beberapa menit, langkah kaki terdengar mendekat. Ayahnya, pulang. Wajahnya penuh lelah.
“Ayah pulang.”
Lastri menoleh, menggeser badanya, memberi ruang agar suaminya bisa duduk di sebelahnya. “Bagaimana hari ini?”
Bejo tersenyum “Alhamdulillah ada sedikit rezeki, bantu pak Ahmad angkat beras seharian.”
Bejo menatap tiga bungkus nasi di hadapanya, nasi dan beberapa lauk tempe sisa sahur semalam. Bejo membuka kantong plastik yang ia bawa dengan penuh semangat.
“Ayam goreng untuk Akbar.” Kata Bejo penuh antusias. Lastri tersenyum menatap Bejo dengan mata sendu “Alhamdulillah.”
“Wah….terimakasih banyak bapak!” Bejo mengusap kepala anaknya. Anak sekecil ini sudah belajar bersyukur lebih dari kebanyakan orang dewasa.
Di layer televisi ujung kota, berita masih terus mengalir. Tentang pejabat yang sibuk membangun bisnis di atas rumah rakyat, tentang korupsi tambang, sampai bahan bakar yang sengaja dioplos untuk mendapat keuntungan. Namun, keluarga ini tak punya waktu untuk marah. Mereka paham betul bahwa keadilan di negeri ini seringkali hanya milik mereka yang memiliki kuasa.
Angin malam liar menusuk. Lastri merapatkan selendangnya, sementara Akbar menempel lebih dekat ke tubuh kecil ibunya, mencari kehangatan.
Dengan suara pelan, Akbar berkata, “Bu, kalau aku besar nanti, aku ingin menjadi orang kaya!” Lastri menatap anaknya “Kenapa begitu, Nak?” Akbar menatap langit. “Supaya bisa membantu orang lain dan tidak ada orang yang berbuka puasa dengan lauk sisa sahur semalam.”
Lastri terdiam. Sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya. “Amin” ucapnya pelan lantas menarik anaknya dalam pelukannya.
Di bawah jembatan layang, keluarga kecil itu berbahagia, menikmati kebersamaan Ramadhan mereka, di Tengah beribu keterbatasan. Di kejauhan, hiruk pikuk kehidupan masih berlanjut, gedung-gedung tinggi bersinar megah, roda ekonomi terus berputar, tapi di sudut kecil ini, kehangatan tak diukur dari gemerlap dunia—melainkan dari kasih sayang yang tak pernah usang.
Lastri mengecup kening anaknya, sementara Bejo menatap langit dengan harapan yang ia genggam erat dalam hati..
Malam berjalan, angin terus berhembus, dan di bawah jembatan itu, di tengah kerasnya kehidupan, sebuah mimpi kecil tertanam—sebuah harapan bahwa suatu hari nanti, tak ada lagi yang harus berbuka dengan sisa lauk sahur semalam.
Komentar
Posting Komentar