Kakak Usahakan Lagi
Cerpen oleh Syahiroh
Nabilah
Kampung Tirto ini
kecil, tapi indahnya seperti serpihan surga yang jatuh dari langit. Di sana,
waktu berjalan lambat, tapi hidup berlari cepat. Matahari terbit dengan
milyaran harapan baru, dan terbenam dengan janji esok datang lagi.
Di sebuah rumah
kayu tua, seorang lelaki muda bernama Hasan. Ia anak sulung dari tiga
bersaudara. Ayahnya telah wafat lima tahun lalu, meninggalkan warisan paling berat:
tanggung jawab.
Hasan bukan
siapa-siapa. Pagi hari, ia hanya guru honorer PAI di madrasah dan sore hari ia
hanya guru ngaji di langgar. Gajinya kecil, bahkan sering tak pasti. Tapi ia
percaya, ilmu bukan sekadar pengisi perut, melainkan berkah yang menyambung
hidup.
Setiap pagi, ia
berangkat dengan motor tua, mengajar anak-anak membaca huruf hijaiya. Ia
menyusun RPP dengan tangan yang lelah, tapi hati yang ikhlas. Di sela mengajar,
ia juga menulis kaligrafi. Bukan hanya karena cinta pada seni, tapi karena di
sanalah ia menemukan ruang untuk bernapas dari sesaknya hidup.
Hasan adalah
khattat autodidak. Pena bambunya ia raut sendiri, tintanya ia racik dengan melihat
tutorial di youtube dan kertasnya ia beli dari sisa honor yang tak
seberapa. Sudah beberapa kali ia memenangkan lomba khat tingkat kabupaten.
Hadiahnya ia gunakan untuk kebutuhan adik-adiknya. Salwa, yang kini kuliah
dengan beasiswa seadanya, dan Rafi, adik bungsu yang masih SMP dan harus
berjalan ke sekolah. Tak satu pun ia
gunakan untuk dirinya sendiri. Bahkan sepasang sepatu yang ia kenakan untuk
mengajar, sudah tiga kali ia jahit sendiri.
Maka ketika sayembara
nasional khat dibuka, Hasan menyimpan tanggalnya di dalam doa. Hadiahnya besar:
sepuluh juta rupiah. Ia menghitung cepat: satu laptop untuk Salwa yang kini
harus menulis makalah dengan menyewa laptop di warnet, satu sepeda untuk Rafi
yang mulai kelelahan menempuh jarak antar kampung, dan satu mukena untuk
bapaknya, sebagai bentuk terima kasih yang tak pernah cukup. Mukena ibunya
sekarang bolong di pinggir dan renda-rendanya menguning seperti kenangan masa
muda.
Ia mulai
berlatih. Malam-malamnya diisi oleh suara pena bambu yang menggesek kertas,
samar-samar berteman dengan nyanyian jangkrik. Tema lomba adalah ayat dari
surah Al-Hujurat: "Inna akramakum ‘indallahi atqakum" Sungguh,
yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Hasan menuliskannya berkali-kali, sampai huruf-huruf itu tak sekadar indah,
tapi hidup. Setiap lengkung kaf ia bayangkan sebagai pundak yang memikul
dunia. Setiap alif ia tegakkan seperti tulang rusuk yang tak mau dibengkokkan
oleh ketidakadilan.
Hari lomba
tiba. Hasan berangkat naik truk pengangkut sayur ke kota kabupaten. Ia membawa
satu gulungan karya, satu pena, dan satu tekad. Di lokasi, peserta datang
dengan perlengkapan mahal: pena Jepang, tinta Prancis, dan bahkan pelatih
pribadi. Hasan hanya membawa satu bambu tua, tinta buatan sendiri, dan sehelai
senyum yang disulam dari harap.
Ia mengerjakan
dengan hati. Tangannya gemetar, bukan karena takut kalah, tapi karena ingat
Salwa, Rafi, dan ibu di rumah. Ia ingin membalas cinta mereka dengan cara yang
ia tahu: ketekunan.
Sore harinya,
pengumuman juara disiarkan. Juara satu bukan Hasan. Bahkan namanya tak masuk
tiga besar. Ia terdiam. Bukan karena kaget, tapi karena tahu, manusia memang
tidak adil, bahkan untuk yang paling tulus sekalipun.
Dari kejauhan, ia mendengar dua panitia berbincang, mungkin mengira
tak ada yang mendengar.
“Anaknya pejabat itu ya, yang juara satu?”
“Iya, memang sudah diatur. Karyanya biasa aja, tapi... kamu tahu sendiri.”
Hasan tidak
marah. Ia hanya menggulung karyanya kembali, memasukkan ke dalam tabung
plastik, lalu melangkah pelan ke luar aula. Tak ada air mata.
Hasan pulang naik
colt pengangkut sayur tua untuk pulang. Sepanjang jalan, ia memandangi
sawah-sawah yang mulai menguning. Ia pikirkan banyak hal. Tentang sistem yang
korup, tentang guru-guru honorer yang tetap tersenyum meski hidup mereka
digilas waktu, tentang sportivitas yang kalah oleh koneksi.
Sesampainya di
rumah, ia langsung disambut Salwa.
“Mas, gimana lombanya?”
Hasan tersenyum kecil. “Belum rezeki.”
“Padahal mas yang paling jago...”
Hasan menatap mata adiknya. “Dek, tak semua yang menang adalah yang paling
layak. Tapi kita harus selalu berusaha jadi yang paling layak, meski tak
menang.”
Malam itu,
Hasan duduk sendiri di beranda. Menatap langit yang lengang. Di pangkuannya,
selembar kertas kosong dan pena.
Salwa keluar,
membawa secangkir teh. “Mas, mau nulis lagi?”
Hasan mengangguk. “Iya. Mau hitung ulang
pengeluaran. Laptop kamu tetap harus ada. Sepeda Rafi juga. Dan untuk ibu...
mungkin nanti aku jual motor.”
Salwa terperanjat. “ Gak usah, Mas. Nyewa laptop lebih murah. Rafi
juga dekat sekolahnya, bisa jalan kaki. Mukena ibu juga masih layak pakai.
Lagian, motor itu untuk mas kalau berangkat ngajar” Ucap Salwa yang tak mampu
membendung air matanya.
“ Sudah, jangan
nangis. Besok InsyaAllah kakak usahakan lagi”. Lirih Hasan menenangkan.
Pena itu
kembali digenggamnya. Bukan untuk menulis kaligrafi lomba, bukan pula pujian
atau keluhan, melainkan untuk mencatat hal yang lebih sederhana: ikhtiar hari
esok.
Salwa masih
berdiri memandangi punggung kakaknya. Punggung yang menanggung banyak hal, tapi
tak pernah meminta dipuji. Laki-laki itu tak menang di panggung, tapi ia menang
dalam hal yang lebih luas. Menjaga harga diri, memelihara kejujuran, dan tidak
menjual prinsip demi hadiah.
Malam makin
larut. Pena itu terus menari.
Besok, ia akan
berangkat mengajar lagi. Mengaji lagi. Mengusahakan lagi.
Karena bagi
Hasan, selama masih ada secarik kertas dan sebilah pena, maka harapan belum
habis.
Komentar
Posting Komentar