Sportivitas Adalah Juara Yang Sebenarnya
Puisi dan Cerpen oleh Nadia Chusna Kamalin
---------------
PUISI
Ia
datang dengan harapan tinggi,
Langkahnya
tegap, matanya berseri.
Bukan
sekadar ingin menang semata,
Tapi
membawa nilai dalam tiap laga.
Ia
tahu, adil itu harga mati,
Tak
tergoda untuk curangi diri.
Walau
harapan pupus di tengah jalan,
Ia
tetap berdiri, tanpa cela, tanpa dendam.
Kekalahan
bukan aib baginya,
Sebab
hormat tetap ia jaga.
Sportivitas
bukan sekadar sikap,
Tapi
cerminan jiwa yang sudah mantap.
CERPEN
Matahari menggantung tinggi di atas stadion sekolah. Suasana hiruk pikuk memenuhi udara,teriakan semangat, peluit panitia, dan derap langkah siswa yang berlomba. Di sisi lapangan, bayu duduk sendiri, meremas-remas ujung kaosnya. Hari ini adalah lomba lari 400 meter. Lomba terakhir, dan satu-satunya kesempatan bayu untuk membuktikan dirinya.
Sejak kecil, bayu selalu kalah dalam berbagai perlombaan. Ia sudah bosan menjadi bahan olokan. Hari ini, ia bertekad: apapun yang terjadi, ia harus menang. Bukan hanya untuk kebanggaan, tapi untuk harga dirinya.
“Siap, peserta ke garis start!” seru pelatih.
Bayu berdiri, mengambil posisi. Di sampingnya, Ali memberi senyum tipis. Ali adalah kebalikan dari bayu. Ia tidak pernah terlalu ambisius, tapi selalu menjadi contoh karena sportivitasnya. Ia sering kalah, namun tak pernah dianggap pecundang. Justru, teman-teman menghormatinya.
“Hati-hati ya, Bay,” bisik Ali. “Ingat, jujur itu selalu lebih penting dari juara.”
Bayu hanya mengangguk. Jantungnya berdentum keras.
“Siap… Satu… Dua… Tiga!”
Peluit dibunyikan.
Para peserta melesat seperti anak panah. Bayu berlari sekuat tenaga. Di depan, seorang peserta bernama Roy mulai memimpin. Tapi Bayu memperhatikan sesuatu yang ganjil — di tikungan kedua, Roy menoleh cepat ke kiri, lalu menghilang sesaat di balik semak.
Dia memotong lintasan! batin Bayu terkejut.
Ali yang berlari di belakang Roy juga melihatnya. Namun ia terus berlari tanpa berteriak atau menuduh.
Lomba selesai. Roy masuk garis finis pertama. Penonton bersorak. Bayu di posisi kedua, disusul Ali. Roy naik podium dengan senyum penuh kemenangan, tapi wajahnya tidak tenang. Ia melihat ke arah Ali yang hanya tersenyum kecil, tanpa cemoohan, tanpa kebencian.
Setelah lomba, Ali mendekatinya diam-diam.
“Aku lihat tadi,” ucap Ali lembut. “Kamu memotong lintasan, kan?”
Roy tak menjawab. Ia menunduk, menarik napas panjang. “Aku... Aku nggak tahu kenapa aku melakukannya. Aku cuma... Aku malu terus kalah, Li. Aku ingin sekali menang, walau cuma sekali saja.”
Ali menepuk punggungnya. “Tapi dengan cara seperti itu, kamu menang dari orang lain, tapi kalah dari dirimu sendiri.”
Kata-kata itu menampar Roy lebih keras dari tepuk tangan penonton. Ia tahu Ali benar.
Ketika waktu pemberian medali tiba, Roy berdiri di atas podium, hendak menerima emas. Namun, ia tiba-tiba mundur selangkah.
“Maaf,” ucapnya lantang. “Saya harus jujur. Saya telah curang... Saya memotong lintasan. Saya tidak pantas menerima ini.”
Semua penonton terdiam. Beberapa terkejut, beberapa mengangkat alis. Tapi dari arah tribun, terdengar tepuk tangan perlahan. Lalu semakin banyak yang ikut bertepuk tangan. Bukan karena Roy menang, tapi karena ia berani jujur.
Medali emas batal diberikan. Roy turun dari podium, berdiri di samping Ali dan Bayu.
Bayu menatap Roy dengan wajah campur aduk. Tapi akhirnya ia mengulurkan tangan. “Itu... berani banget sih. Gue nggak yakin gue bisa kayak lo.”
Ali hanya tersenyum. “Hari ini, kita semua belajar. Menang itu penting, tapi jujur itu lebih besar.”
Mereka bertiga saling menatap — tak ada pemenang, tak ada pecundang. Hanya remaja-remaja yang baru saja memahami arti sportivitas.
Dan dari tempat duduk penonton, guru olahraga
berbisik pada rekannya, “Mereka belum tentu juara lomba... tapi mereka baru
saja jadi juara yang sebenarnya.”
Komentar
Posting Komentar