“Jejak Tertinggal di Tanah Basah” Juara 1 Musabaqoh Mading Jilid III UKM Al-Izzah 2025 (Kategori: Cerpen)
Jejak Tertinggal di Tanah Basah
Cerpen oleh Raniyah Septiani
Hening. Angin sawah bergerak pelan, membawa aroma tanah yang lembap. Dari kejauhan terdengar suara jangkrik bersahutan, dan gemericik air di saluran irigasi yang menambah sunyi rembulan pudar tersapu awan menebarkan cahaya pucat ke jalan tanah yang membelah perkampungan. Rumah-rumah kayu berjejer di pinggir jalan, sebagian sudah miring dimakan usia. Lampu-lampu minyak yang redup tampak seperti kunang-kunang yang terjebak di dalam botol kaca.
Di ujung kampung, dekat rumpun bambu, berdiri rumah papan yang sederhana. Atapnya seng berkarat, dindingnya mulai berjarat, lantainya tanah padat yang dingin saat malam tiba. Di beranda yang kecil, Aisyah duduk bersandar pada tiang kayu, memandangi langit yang tertutup awan. Sesekali angin malam masuk melalui celah dinding, membuat nyala lampu minyak bergoyang-goyang.
Dari dalam rumah, terdengar suara batuk ibu yang sedang merapikan dagangan untuk dibawa ke pasar pada esok subuh. Di sudut rumah, seorang anak laki-laki duduk memeluk boneka kain lusuh. Rafi, adik Aisyah yang sejak kecil mengalami keterlambatan bicara. Aisyah menoleh, lalu tersenyum tipis padanya. Ia tahu beban ibunya tidak ringan.
Sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, kehidupan keluarga itu makin sulit. Ibunya menjadi keras bukan karena tidak sayang, namun sebab hidup menuntut kekuatan yang tak kenal lelah. Aisyah sering merasa marah pada ibunya saat kecil, karena apa pun yang dilakukannya selalu dianggap salah. Baru setelah ia beranjak remaja, ia mengerti kerasnya sang ibu adalah cara agar mereka bertahan dan kuat dalam hidup.
Di malam yang sunyi, Aisyah menarik napas panjang. Ia baru saja pulang liburan dari pesantren. Masih teringat jelas masa-masa beberapa tahun lalu, saat ia pertama kali meninggalkan rumah demi memenuhi permintaan ayahnya yang kini hanya tinggal kenangan.
“Nak, ilmu agama itu bekalmu kelak. Belajarlah sungguh-sungguh.” ucap sang ayah
Kata-kata itu kini menjadi penuntun setiap kali ia goyah.
Padahal dahulu Aisyah berharap ketika pulang liburan memperdengarkan hafalannya pada sang ayah. Angin malam yang dingin mengusap pipi basahnya mengingat memori masa lalu yang masih jelas, sementara bintang di langit terasa begitu jauh.
Tahun-tahun berikutnya, Aisyah terus berjuang. Ia menyelesaikan hafalan Qur’annya dengan tekun. Saat hari khataman tiba tepalanya tertunduk menahan air mata. Di tengah suara doa para santri, ia mengenang satu kalimat ayah yang selalu terngiang: “Belajarlah sungguh-sungguh.” Setiap libur Panjang ia pulang membantu ibunya berjualan sayur di warung kecil depan rumah, mengajar anak-anak kampung mengaji di surau dekat sawah, menulis artikel dan majalah untuk menambah sedikit uang demi biaya sekolah adiknya. Malam-malam ia habiskan belajar di bawah cahaya lampu minyak yang redup, ditemani suara jangkrik dan aroma tanah basah
Aisyah gemar membaca. Di pesantren ia selalu meminjam buku di perpustakaan, ia gemar membaca kisah inspiratif para tokoh wanita, sejarah perjuangan bangsa, hingga tafsir Al-Qur’an. Dari buku-buku itu ia mengenal sosok Raden Ajeng Kartini. Ia kagum pada keberanian Kartini yang memperjuangkan hak perempuan untuk belajar.
“Perempuan juga bisa belajar dan memimpin,” batinnya suatu malam, saat duduk di teras pesantren memandang langit berbintang.
Sejak saat itu hatinya tergugah bahwa dirinya tidak hanya menjadi penghafal Qur’an, tapi juga mampu mengubah nasib negeri ini dengan ilmu dan karyanya.
Waktu bergulir. Setelah lulus dari pesantren, Aisyah melanjutkan pendidikan di kota, namun ia tetap pulang ke desa setiap liburan untuk membantu ibunya dan mengajar anak-anak kampung. Ia mulai menulis cerita-cerita pendek tentang kehidupan desa, tentang anak-anak yang belajar di bawah lampu minyak, tentang para ibu yang bekerja di sawah, tentang mimpi sederhana yang ingin mereka capai.
Beberapa Tulisannya telah dimuat di media lokal. Dengan honor yang ia terima, ia membeli buku bacaan untuk anak-anak yang tidak mampu sekolah. Ia percaya literasi bisa menjadi pintu keluar dari kemiskinan dan kebodohan.
“Kalau negeri ini ingin maju, semua anak harus bisa belajar,” katanya suatu sore pada seorang sahabatnya di pesantren.
Ribuan hari dilalui. Aisyah dikenal sebagai penulis muda yang kerap berbicara di forum pendidikan. Ia tetap rendah hati, tetap pulang ke desa, dan akhirnya dengan dukungan teman-teman pesantren berhasil mendirikan sekolah gratis di kampungnya. Bangunannya sederhana berdinding kayu, beratap seng, tetapi penuh dengan semangat.
Setiap pagi, ia menyambut anak-anak desa yang datang dengan kaki penuh lumpur dari sawah. Mereka belajar membaca, menulis, dan mengenal dunia yang lebih luas. Di malam hari, ketika desa kembali sunyi, Aisyah duduk di beranda sekolah sambil menulis buku yang ingin ia persembahkan untuk anak-anak desa di pelosok negeri.
Malam di desa selalu menjadi saksi perjalanan hidupnya. Angin yang melewati rumpun bambu seolah membawa doa-doa yang tidak terucap. Cahaya bulan yang sering tertutup awan memberi kesan tenang dan hening, menemani Aisyah menulis hingga larut. Dalam salah satu bukunya ia menulis:
“Negeri ini tidak boleh kalah oleh kesulitan. Perempuan pun bisa menjadi pemimpin. Pendidikan adalah cahaya yang akan mengubah masa depan.”
Suatu malam yang hening, Aisyah duduk di depan rumah sekolah yang ia dirikan. Di kejauhan, sawah yang terhampar luas memantulkan cahaya bulan yang samar. Ia teringat masa kecilnya yang sulit, teringat ayah yang telah tiada, dan ibunya yang keras demi kebaikan anak-anaknya. Ada rasa haru yang menekan dadanya.
“Aku ingin anak-anak desa ini percaya bahwa mereka bisa,” bisiknya pada angin malam.
Ia memandang ke langit yang kelam, lalu tersenyum. Di matanya ada keyakinan bahwa dengan ilmu dan karya, perempuan pun bisa memulihkan negeri ini, memberi harapan bagi yang termiskin, dan membuktikan bahwa cita-cita Kartini tidak berhenti di lembar sejarah.
Malam itu, di bawah langit desa yang sunyi, ia merasa perjuangannya baru saja dimulai.
Komentar
Posting Komentar